JURNALTIME.co.id SOPPENG – Namanya Lasse (66), seorang nelayan tradisional Danau Tempe, asal Kelurahan Kaca, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng.
Lasse bukanlah nelayan biasa, dirinya merupakan satu diantara sedikit nelayan yang masih bertahan sebagai nelayan penangkap Alame (Udang Kecil Khas Danau Tempe).
Jumlah nelayan penangkap alame saat ini memang semakin berkurang.
Di Kelurahan Kaca saja, nelayan alame disebut hanya berjumlah tiga orang.
Menurut Lasse, menjadi nelayan penangkap alame tidaklah mudah.
Dibutuhkan kedisplinan dan intuisi yang tinggi untuk menjalani profesi ini.
Untuk menangkap Alame, Lasse sendiri mengaku harus bangun lebih awal.
Setidaknya jam 5 Subuh, Ia sudah harus berada di atas perahu kecil miliknya. Ia bekerja sendiri.
“Saat ingin menangkap Alame, kita juga harus memperhatikan kondisi air danau, jika suhu air danau dingin maka hasil tangkapan alame biasanya sedikit, begitupun sebaliknya” ujar Lasse.
Hampir tiap hari, Lasse turun ke danau untuk menangkap Alame. Terkecuali di hari Jumat, mengingat adanya tradisi larangan mencari ikan dari Matoa Pakkaja (Ketua Adat) Kelurahan Kaca.
Dari menangkap Alame, Lasse mengaku bisa mendapatkan hingga 10 liter alame.
Hasil tangkapan ini biasanya akan diolah untuk dijadikan Ronto’ atau sambel udang mentah khas danau tempe.
Ronto’ selanjutnya akan dijual ke pasar pasar tradisional di seluruh Soppeng.
“Terkadang juga kami menjualnya masih dalam keadaan mentah, harganya Rp 10 ribu per liter” ujar Lasse.(m.yu/id)